Header Ads

Berita Terbaru
recent

Apakah Tabarruj sama artinya dengan Membuka Aurat ?

Tabarruj adalah salah satu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Apa pengertian tabarruj? Apakah artinya sama dengan membuka aurat? Apakah ketika seorang muslimah telah mengenakan jilbab dan khimar berarti dia tidak mungkin lagi terjerumus dalam tabarruj? Dan apakah larangan terhadap tabarruj sama artinya dengan larangan mutlak untuk berdandan dan memakai segala macam perhiasan?

Tulisan ini akan membahasnya, wallaahul Musta’aan

Hukum Tabarruj Menurut Nash-nash Syara’

Allah berfirman dalam An Nuur ayat 60 :

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النّسَآءِ الّلاَتِي لاَ يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنّ غَيْرَ مُتَبَرّجَاتِ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لّهُنّ وَاللّهُ سَمِيعٌ عِلِيمٌ

Artinya: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) bertabarruj dengan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana”.

Allah berfirman dalam Al Ahzaab ayat 33.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنّ وَلاَ تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الْجَاهِلِيّةِ الاُولَىَ

Artinya : “Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”.

Ayat yang pertama mengandung larangan bagi wanita yang sudah tua untuk bertabarruj. Kata Mutabarrijaatun yang disebut dalam ayat tersebut adalah bentuk jama’ dari mutabarrijah, yaitu bentuk mu’annats dari matabarrijun yang merupakan ismu faa’il (pelaku/subjek) dari kata kerja tabarroja (bertabarruj). Maka, arti dari mutabarrijaatun adalah para wanita yang bertabarruj. Hanya saja, dalam konteks ini, isim fa’il tersebut diamalkan sebagai fi’il, maka diartikan dengan bertabarruj. Ayat yang kedua juga terdapat larangan untuk bertabarruj bagi para istri Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh wanita muslimah, sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah sebelum datangnya islam. Terdapat juga hadits yang melarang tabarruj. Abdullah bin ‘Amr mengisahkan, “Umaimah bintu Ruqoiqoh mendatangi Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk berbaiat kepadanya dalam rangka masuk islam, maka (nabi) berkata: Aku membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak membuat-buat kedustaan yang kamu kerjakan dengan kedua tangan dan kakimu, tidak meratap, dan tidak bertabarruj seperti dilakukan wanita-wanita jahiliyyah dahulu”. (HR. Ahmad)

Dan terdapat nash lain yang menunjukkan indikasi bahwa larangan tabarruj itu bersifat tegas, yang membawa kepada pengertian haram. Dari Fadholah bin ‘Ubaid, Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “tiga golongan yang tidak ditanya: seorang laki-laki yang memisahkan diri dari jama’ah, mendurhakai imamnya, kemudian meninggal dalam kedurhakaannya itu; Seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri meninggalkan tuannya, lalu mati; seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya, yang mana suaminya itu telah mencukupi kebutuhannya, namun dia bertabarruj, maka mereka tidak ditannya”. (HR. Al Hakim dan Ahmad)

Yang dimaksud “tidak ditannya” adalah tidak ditanya oleh Allah pada hari perhitungan amal karena Allah sudah tidak mempedulikan amal mereka lagi. Allah langsung menganggap mereka sebagai penghuni neraka disebabkan oleh ketiga perbuatan yang disebutkan dalam hadits itu. Maka, nash ini jelas melarang tabarruj dengan larangan yang tegas, dalam arti pengharaman. Karena, perbuatan yang pelakunya diancam oleh Allah dengan neraka tanpa perhitungan hanyalah perbuatan yang haram. Hanya saja, di antara manusia terjadi kesamaran mengenai pengertian tabarruj dan batasan-batasannya. Sementara, nash-nash syara’ di atas tidak menggunakan kata tabarruj dengan pengertian khusus sebagai sebuah istilah baru yang bersifat syar’i. Jika syara’ menghendaki penggunaan tabarruj sebagai makna baru yang bersifat syar’i, niscaya hal itu akan dijelaskan oleh nash-nash syara’. Tapi, kita tidak menjumpainya dalam nash-nash yang ada. Maka jelas, kata tabarruj itu telah digunakan oleh nash-nash syara’ dengan pengertian bahasa. Atas dasar itu, kita harus merujuk pada pengertian yang dipahami oleh Bahasa Arab untuk memahami maknanya.

Pengertian Tabarruj

Tabarruj merupakan bentuk masdar qiyasi dari kata kerja tabarroja (tabarroja – yatabarroju – tabarrujan), dengan wazan: tafa’-'ala – yatafa’-'alu – tafa’-’ulan …. Jadi, Tabarroja merupakan fi’l tsulatsi mazid dengan penambahan dua huruf, asalnya adalah “ba-ro-ja“. Dalam Lisaanul ‘Arab Ibnu Madzur mengatakan: “setiap sesuatu yang tampak jelas dan menonjol, maka ia (berpredikat) “baroja“, itulah mengapa istana-istana disebut dengan buruujun, karena kemenonjolannya, kejelasannya, dan ketinggiannya”. 

Kemudian, baroja itu depannya ditambahi huruf ta’ setelah itu ‘ain fi’lnya ditasydid, sehingga berubah menjadi tabarroja. Dalam kitab Al Jadwal fii I’robil Qur’an wa Shorfihi dikatakan bahwa tabarroja adalah at takallufu fii idzhaari maa yukhfaa, yakni : memaksakan diri/mengerahkan kemampuan untuk menampakkan sesuatu yang tersembunyi, sebab, wazan tafa’-‘ala menunjukkan makna at-takalluf (pemaksaan diri). Berkata Al Fairuz Abadi dalam Al Muhiith, : “tabarrojat : adzharot ziinatahaa lirrijaal, tabarrojat adalah menampakkan perhiasannya kepada kaum lelaki”. Sedangkan Ar Raghib berkata dalam Al Mufrodaat : “Al-buruuj adalah istana-istana (al qushuur), tunggalnya burjun. Kemudian dikatakan, tabarrojatil mar’atu, ay: tasyabbahat bihi fii idzhaaril mahaasiin, artinya: tabarrojatil mar’atu adalah seorang wanita menyerupakan diri dengan istana dalam hal menampakkan berbagai keindahan”.

Kemudian, tabarruj adalah kata benda bentukan (masdar) dari tabarroja. Jika tabarrojat berarti menunjukkan perhiasan/keindahan, maka at-tabarruj adalah nama dari aktivitas pertunjukkan perhiasan/keindahan itu sendiri. Berkata Al Jauhariy dalam Ash Shihaah: “at-tabarruju : idzhaarul mar’ati ziinatahaa wa mahaasinahaa lir-rijaal, artinya: tabarruj adalah pertunjukkan perhiasan dan berbagai keindahan wanita kepada kaum lelaki”. Dalam Lisanul Arab dikutip perkataan bahwa: “at tabarruju : idzhaaruz ziinati wa maa yustad’aa bihii syahwatur rijaali, artinya: tabarruj adalah pertunjukan perhiasan dan apa saja yang dengannya syahwat kaum lelaki tertarik”.

Kesimpulannya, tabarruj secara bahasa adalah : pertunjukkan keindahan yang dilakukan oleh kaum wanita yang mana pertunjukkan itu dapat menarik perhatian kaum lelaki dari aspek syahwat. Maka, ketika wanita berpenampilan sedemikian rupa, baik dengan riasan, dengan pakaian ataupun dengan perhiasan, sehingga dia menarik perhatian dan syahwat kaum laki-laki, maka itu dinamakan tabarruj menurut pengertian bahasa, dan makna inilah yang juga dikehendaki oleh nash-nash syara’. Ibnu Jarir Ath Thobari mengutip penafsiran kata tabarruj dalam surat Al Ahzab ayat 33, “ wa qiila: innat tabarruja huwa idzhaaruz ziinati, wa ibroozul mar’ati mahaasinahaa lir-rijaali,: dan dikatakan sesungguhnya tabarruj adalah menampakkan perhiasan, dan pertunjukan keindahan wanita dihadapan kaum lelaki”. Wallahu a’lam

Contoh perbuatan yang tergolong tabarruj yang disebut oleh nash-nash syara’

Berikut ini beberapa perkara yang disebutkan dalam nash syara’ yang tergolong tabarruj, sekedar sebagai contoh.
Allah berfirman dalam surat An Nuur ayat 31 :
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنّ

Dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (An Nuur, 31)
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “wanita mana saja yang memakai wewangian, kemudian dia melewati kaum (laki-laki) agar mereka mencium baunya maka dia pezina” (HR. An Nasa’i, Abu Dawud, At Tirmidzi, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua golongan ahli neraka yang belum aku lihat: Orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi, mereka mencambuki manusia dengannya; dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan menggoyangkan kepalanya seperti bergoyangnya punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya itu bisa dicium dari jarak sekian dan sekian” (HR. Muslim)

Tabarruj bisa terjadi pada wanita yang telah menutup aurat

Menampakkan aurat bisa merupakan salah satu bentuk tabarruj. Tapi, pengertian tabarruj bukanlah mengumbar aurat, melainkan mempertontonkan kecantikan dan perhiasan wanita untuk menarik simpati kaum pria. Maka, tindakan tabarruj bisa dilakukan oleh seorang wanita yang telah menutup aurat, dan mengenakan jilbab serta khimar yang tidak menggambarkan warna kulit dan bentuk tubuh. Tabarruj itu bisa terjadi jika si wanita mengenakan jilbab atau khimar yang sedemikian indah dengan berbagai pernak-pernik sehingga menggoda pandangan, atau merias muka dengan begitu mencolok seperti para pelayan di mall, atau dengan memakai parfum yang semerbak sehingga tercium oleh siapa saja yang dia lewati, atau dengan mengenakan perhiasan yang menarik perhatian, atau dengan tindakan yang semisalnya. Semua itu adalah tindakan tabarruj yang dilarang bagi wanita yang telah mengenakan jilbab dan khimar.

Berdandan dan memakai perhiasan tidak otomatis berarti bertabarruj

Larangan tabarruj bukan berarti larangan mutlak untuk mengenakan perhiasan dan berdandan. Wanita boleh mengenakan perhiasan asalkan perhiasan itu tidak mencolok dan wajar, seperti cincin yang sederhana. Mereka juga boleh berdandan dengan ringan untuk sekedar menutupi sesuatu yang menjadi kekurangan. Boleh juga menggunakan parfum yang tidak semerbak baunya untuk sekedar menutup bau badan. Asal, semua itu tidak dilakukan untuk menarik perhatian lawan jenis. Sebab, yang disebut dengan tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan kecantikan sehingga menarik perhatian dan mengundang kekaguman lawan jenis. Jika perhiasan atau dandanan tidak menarik perhatian, maka fakta tabarruj tidak terwujud, sehingga ia tidak tergolong tabarruj. Memakai pakaian berwarna atau bermotif tidak otomatis bertabarruj.

Ibnu Abi Syaibah, sebagaimana dikutip oleh Al Albaniy meriwayatkan beberapa atsar yang menunjukkan bahwa istri-istri nabi dan muslimah pada masa shohabat pernah menggunakan pakaian yang berwarna. Atsar itu antara lain:
Dari Ibrahim (An Nakho’i) bahwasannya ia pernah bersama Al Qomah dan Al Aswad mengunjungi para istri Nabi saw., dan dia melihat mereka mengenakan pakaian-pakaian panjang berwarna merah.

Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “saya pernah melihat Ummu Salamah ra. mengenakan baju dan pakaian panjang berwarna kuning.

Dari Al Qosim (Ibnu Muhammad bin Abu Bakar) bahwa Aisyah ra. pernah memakai pakaian berwarna kuning, dan dia sedang ihram.
Dari Hisyam, dari Fatimah binti Mundzir, bahwa Asma’ ra. pernah memakai pakaian berwarna kuning dan dia sedang ihram.
Dari Sa’id bin Jubair bahwa dia pernah melihat sebagian dari istri nabi thowaf mengelilingi Ka’bah dengan mengenakan pakaian berwarna kuning.


Jadi, memakai pakaian berwarna tidak otomatis dianggap tabarruj. Ini dengan catatan, warna itu wajar digunakan di lingkungan si pemakai sehingga tidak terlihat mencolok. Jika sebuah motif(corak) atau warna itu tidak wajar digunakan di lingkungannya, atau biasa digunakan untuk menggoda lawan jenis, maka fakta tabarruj akan terwujud, karena ia akan menarik perhatian. Untuk itu, masalah memilih warna dan corak ini butuh pencermatan yang hati-hati.

No comments:

Powered by Blogger.